Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi Fact-Meter.com
Pernikahan merupakan sebuah momen sakral, dimana dua orang dan dua keluarga bersatu dan berikrar untuk beribadah seumur hidup kepada Tuhan, momen dimana sebuah keluarga baru terbentuk sah secara hukum dan agama.
Prosesi pernikahan pada umumnya membutuhkan biaya yang banyak karena sejumlah persiapan yang harus dilakukan. Mulai dari pelaksanaan upacara adat, menyewa tempat, kebutuhan dekorasi, catering, pre-wedding, dan sebagainya. Namun dengan perencanaan dan perhitungan keuangan yang tepat, pernikahan bukanlah sebuah acara yang menyusahkan. Salah satu cara untuk menekan biaya pernikahan adalah dengan menggunakan undangan pernikahan elektronik yang sudah cukup umum dilakukan banyak orang, tidak lagi mencetak undangan fisik.
Kisah sepasang suami – istri di Sumedang, Jawa Barat dengan inisial DD dan PF yang melaksanakan intimate wedding pada awal Desember 2023, mengaku pernah mendapat tawaran ‘sponsor‘ berupa uang sebesar Rp30.000.000 untuk membantu biaya pernikahan mereka oleh tim sukses dari salah satu pasangan calon (paslon) kontes politik.
Meskipun pasangan suami-istri ini berusaha membatasi anggaran, namun penawaran itu langsung ditolak. DD mengutarakan, “Aku (bilang) nggak, lah. Ngapain? Syaratnya semua (tamu) yang dateng kudu milih Pak X (paslon yang diwakilkan)” Hal ini pun yang dipikirkan oleh PF.
Menurut penulis, hal ini sudah termasuk dalam praktek money politic. Dikutip dari laman KPK (2023), politik uang (money politic) adalah sebuah upaya untuk mempengaruhi pilihan pemilih (voters) atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Seorang calon atau tim suksesnya akan memberi bantuan uang atau barang lain yang diinginkan oleh masyarakat agar seseorang dapat dipilih pada pemilu.
Mengingat saat ini sedang musim politik, dari pemilihan calon legislatif hingga calon Presiden dan Wakil Presiden 2024 semakin dekat, berbagai macam bentuk kampanye gencar dilakukan untuk memperoleh suara. Sudah ada black campaign, menyebarnya hoaks yang merajalela, hingga money politic yang ‘menyerang’ acara pernikahan. Menurut penulis, kampanye politik sekarang ini sudah bukan lagi sekedar membagi – bagikan kaos dan berfoto dengan paslon, bantuan ‘sponsor pernikahan’ ini sudah menjadi ajang suap yang menargetkan pasangan kekasih yang mengadakan private wedding yang hanya dihadiri keluarga dan teman terdekat. Mungkin agar tamu lebih mudah dipersuasi oleh pasangan kekasih ini agar memilih paslon tertentu.
Dilansir dari laman KPK (2023), politik uang disebut sebagai “mother of corruption” atau induknya korupsi. Seseorang atau pihak tertentu berusaha mempengaruhi proses pemilu yang transparan, “Akhirnya figur yang terpilih memiliki karakter yang pragmatis, bukan yang berkompetensi atau kuat berintegritas. Mereka memilih menang dengan cara apapun, ini bukanlah sosok pemimpin yang ideal“, ujar Amir Arief, selaku Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK.
Dana yang dikeluarkan saat berkampanye akan sangat besar dan tidak mungkin hanya dari calon pribadi saja, namun terdapat bantuan, dukungan, donasi dari berbagai pihak dan golongan tertentu yang mengharapkan timbal balik jika akhirnya calon tersebut menang. Menurut KPK, perilaku ini biasa disebut investive corruption, atau investasi untuk korupsi. Ketika terpilih, tidak menutup kemungkinan selama menjabat ia akan berusaha mengembalikan dana kampanye pada pihak-pihak yang membantunya, atau memberi bantuan dan kemudahan tertentu pada donaturnya, hal ini bisa menimbulkan korupsi dan kecurangan baru.
Menurut penulis, hal ini sudah menodai esensi pernikahan yang seharusnya suci dan sakral. Ketika seseorang bersumpah pada Tuhan dan disaksikan malaikat, proses ibadah ini hendak dijadikan acara politik untuk mendapat suara seluruh tamu? Bahkan sudah ada paslon yang tampil di tayangan adzan di salah satu stasiun televisi nasional. Apakah perlu menyuap ke pernikahan?
Apakah seorang calon yang tidak cukup percaya diri untuk bersaing secara sehat, layak diberi suara? Jika dihitung, 30 juta rupiah dibagi 150 tamu, hasilnya adalah 200 ribu rupiah. Apakah suara kita bisa dibeli hanya dengan Rp200.000 untuk memilih masa depan negara 5 tahun kedepan?