Opini

Ibu Kota Nusantara, Otonomi Daerah vs Ancaman Lingkungan

Opini
Kontributor Fact-Meter
27 December 2023
cover
Sumber image: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi Fact-Meter.com

Rencana pemindahan Ibu Kota Indonesia ke IKN (Ibu Kota Nusantara) di Kalimantan Timur yang akan dimulai pada tahun 2024 memunculkan banyak perdebatan. Sebagian pihak memandangnya sebagai langkah strategis yang memungkinkan pemerataan pembangunan ekonomi dan infrastruktur dapat berjalan dengan lebih baik di seluruh nusantara dan memperkuat keterhubungan antarwilayah. 

Di sisi lain, beragam pendapat yang menyuarakan keprihatinan atas kemungkinan dampak negatif dari rencana pemindahan Ibu Kota Negara ini pun muncul, baik itu dampak lingkungan, sosial, dan ekonomi lokal yang akan disebabkan karena nya. 

Bagi mereka yang mendukung pemindahan Ibu Kota Indonesia, menekankan manfaat jangka panjang, seperti peluang investasi baru, pengembangan infrastruktur, dan redistribusi pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, mereka meyakini bahwa langkah ini dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah yang telah sekian lama menjadi masalah utama negeri ini. 

Sebaliknya, mereka yang menentang pemindahan Ibu Kota Indonesia mencemaskan potensi kerusakan lingkungan dan dampak negatif terhadap kehidupan sosial masyarakat setempat. Mereka menyoroti risiko deforestasi, hilangnya habitat alami satwa liar, serta perubahan pola hidup masyarakat lokal yang mungkin terdampak oleh arus urbanisasi.

Dengan demikian, wacana pemindahan ibu kota Indonesia menjadi sebuah dinamika sosial dan politik yang kompleks, di mana pemerintah perlu mempertimbangkan berbagai aspek dengan cermat untuk meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan manfaat positif dalam mewujudkannya.

Pandangan yang menyetujui pemindahan Ibu Kota Indonesia ke Kalimantan Timur mencakup beberapa aspek positif yang diungkapkan oleh para tokoh terkemuka. Dikutip dari Kompas.com, Wakil Presiden Indonesia ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla menyampaikan bahwa pemindahan Ibu Kota Negara dapat menciptakan otonomi daerah yang lebih baik. Dalam pandangannya, langkah ini dapat memberikan keuntungan positif terutama bagi pemerintah daerah, memperkuat otonomi, dan memberikan kesempatan lebih besar bagi daerah untuk mengelola sumber daya secara mandiri.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro juga menyampaikan bahwa pemindahan Ibu Kota dapat berdampak positif terhadap sektor perekonomian. Dia mencatat bahwa pembangunan pusat pemerintahan baru dapat menangkal ancaman resesi global di Indonesia. Dampak jangka pendeknya mencakup peningkatan potensi investasi, khususnya di kawasan Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, dengan meningkatkan perdagangan antar wilayah serta investasi di sektor kesehatan, semen, pertambangan, dan lainnya.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian juga mendukung pandangan positif terkait pemindahan Ibu Kota. Menurutnya, langkah ini dapat menciptakan pemerataan pembangunan di Indonesia, mengurangi fokus pembangunan yang terpusat di Pulau Jawa, dan memberikan peluang pembangunan dan investasi yang lebih merata di seluruh nusantara.

Secara keseluruhan, sejumlah pandangan yang menyetujui pemindahan Ibu Kota Negara ini menekankan potensi manfaat seperti otonomi daerah yang lebih baik, pertumbuhan ekonomi, peningkatan investasi, dan pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia. 

Pandangan kontra terhadap pemindahan Ibu Kota Indonesia ke Kalimantan Timur mencakup sejumlah keprihatinan dan kekhawatiran dari berbagai pihak. Koalisi Masyarakat Kaltim, yang terdiri dari berbagai lembaga aktivis lingkungan, menolak IKN dengan alasan bahwa pemindahan ini dapat mengancam ruang hidup masyarakat lokal dan satwa langka di wilayah proyek IKN, seperti Kabupaten Penajam, Kutai Kartanegara, dan Kota Balikpapan. Mereka melihat UU IKN sebagai potensi ancaman terhadap ekosistem dan keberlanjutan lingkungan setempat.

Selain itu, dilansir dari Detik.com, Koalisi Masyarakat Kaltim juga mengekspresikan keprihatinan terhadap kemungkinan penggusuran lahan masyarakat adat, termasuk suku Balik, suku Paser, dan warga transmigran di wilayah Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). 

Mereka menyoroti bahwa pemukiman yang telah lama ada di lahan seluas 256.000 hektare dapat terancam oleh proyek IKN. Dari segi sosial, ada kekhawatiran bahwa generasi milenial dapat menghadapi kesulitan memiliki rumah di IKN. Bhima Yudhistira dari Institute for Development on Economics and Finance (Indef) menyoroti masalah ini dengan menunjukkan bahwa mahalnya harga tanah di IKN dapat mempersulit generasi muda untuk memiliki rumah. 

Hal ini bisa menyebabkan naiknya tingkat ketergantungan milenial untuk tetap tinggal bersama orang tua mereka. Dengan demikian, pandangan kontra ini menekankan risiko terhadap lingkungan, masyarakat lokal, dan generasi muda dalam konteks pemindahan ibu kota ke Kalimantan Timur.