Sumber image: Freepik dengan perubahan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran 2024 di Indonesia menjadi kontroversial dan mendapat banyak penolakan dari berbagai pihak, termasuk Dewan Pers, AJI Indonesia, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan berbagai komunitas penyiaran Indonesia. Selain beberapa pasal RUU yang dianggap tumpang tindih dengan UU sebelumnya, beredar berbagai opini di publik bahwa RUU ini berpotensi untuk mengancam kebebasan pers dan jurnalistik investigasi. Berbagai opini publik mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran 2024 telah beredar di media sosial seperti Instagram dan X (sebelumnya Twitter). Berikut adalah rangkuman dari beberapa perspektif yang beredar:
Ancaman Kebebasan Pers
1. Melarang Jurnalistik Investigasi
Aspek yang paling sering menjadi fokus kritik terhadap RUU Penyiaran ini terletak pada Pasal 50 B ayat 2 huruf (c) RUU Penyiaran, yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi. Larangan ini dikhawatirkan akan menghambat kebebasan pers dalam mengungkap fakta dan melakukan investigasi mendalam (tirto.id) (DW) (ET Asia). Hal ini bertentangan dengan Pasal 4 ayat (2) UU Pers Tahun 1999 yang menyatakan “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran” (thinkpolicy)
Anggota DPR menyatakan bahwa pelarangan jurnalisme investigasi dilakukan agar memastikan penyelidikan yang sedang berlangsung tidak terganggu. Namun, LSM seperti Indonesian Corruption Watch (ICW) menekankan bahwa jurnalisme investigasi justru mempercepat penyelidikan kasus kriminal (Whatsupindonesia).
Jurnalistik investigasi juga dilakukan agar wartawan bisa melakukan penyelidikan, fact checking, klarifikasi dan konfirmasi pada pemberitaan hingga kasus tertentu, dan dikabarkan pada seluruh masyarakat. Selain memperjuangkan kebebasan pers untuk lembaga penyiaran, masyarakat juga berhak untuk mengetahui dan mengakses informasi sebenar-benar dan seluas-luasnya tanpa larangan dan batasan.
2. KPI vs Dewan Pers
Pada Pasal 42 ayat 2 RUU Penyiaran 2024, menyatakan bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik akan dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hal ini dianggap tumpang tindih dengan UU Pers Tahun 1999, yang menyatakan bahwa Dewan Pers adalah lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik (tirto.id) (thinkpolicy). Apakah benar asumsi ini menciptakan tumpang tindih wewenang antara KPI dan Dewan Pers?
Dilansir dari Detik, Zacky selaku Ketua Komisi Hukum PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) mengatakan “…Selama ini, sengketa berita pers lewat penyiaran diselesaikan di Dewan Pers. Sengketa non berita pers diselesaikan di KPI. Draf ini bakal menimbulkan kegaduhan”.
Terbukti, saat RUU Penyiaran ini diberitakan dan belum disahkan pun, menimbulkan kegaduhan dari berbagai sisi karena mendapat pertentangan dari berbagai pihak.
Pembatasan Kebebasan Informasi
Muncul pertanyaan kritis dari publik terutama di media sosial, mengenai bagaimana kebebasan informasi yang beredar di publik nantinya jika RUU Penyiaran ini nantinya disahkan. Dilansir dari Kompas, KPI yang selama ini hanya mengawasi tayangan televisi dan radio akan memperluas pengawasan pada konten digital melalui Pasal 1 Ayat 9 dan Pasal 17 RUU Penyiaran 2024. Konten digital ini meliputi konten di internet, aplikasi OTT, hingga media sosial. Hal ini juga berimbas tidak hanya pada wartawan dan awak media, namun juga pada digital content creator yang mayoritas adalah anggota masyarakat.
Banyak pendapat yang mengkhawatirkan adanya penyensoran konten oleh KPI di platform digital, seperti yang digaungkan oleh akun Instagram thinkpolicy dan whatsupindonesia. KPI terkenal dengan “rekam jejak dalam melakukan sensor atau pembatasan yang kontroversial”. Hal ini pernah disinggung oleh remotivi dalam berbagi opininya di tahun 2019 silam, di mana kinerja KPI dinilai masih “loyo” dalam menjalankan regulasi yang ada. Dengan segudang masalah lain yang juga muncul di dalam internal KPI, tidak ada jaminan bahwa KPI mampu menjalankan regulasi konten internet ini mampu berjalan mulus.
Tidak hanya itu, content creator mungkin harus melakukan verifikasi dengan KPI untuk konten yang akan mereka unggah di internet. Draft RUU ini memberikan kewenangan kepada KPI untuk memberikan sanksi dan merekomendasikan kebijakan untuk membatasi platform konten jika terus menampilkan konten yang dilarang (whatsupindonesia) (ET Asia).
Polemik “Pencemaran Nama Baik”, lagi.
Pada Pasal 50 B ayat 2 huruf (k) RUU Penyiaran 2024, terdapat larangan konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik, yang mirip dengan pasal dalam UU ITE yang sering disebut sebagai “pasal karet” karena rentan disalahgunakan untuk membatasi kebebasan berpendapat (tirto.id).
Dilansir dari laman Kominfo, Pasal 27 Ayat 3 UU ITE menyebutkan larangan pada setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Jika RUU Penyiaran ini disahkan, maka kita sebagai masyarakat, content creator lokal, hingga awak media tidak bisa bebas mengumbar informasi seorang penjahat, atau pengusaha dan pejabat yang merugikan negara, tanpa persetujuan KPI dan sebelum adanya pernyataan resmi dari pihak berwenang seperti Kepolisian atau KPK. Jika nama seseorang atau sebuah instansi disebar dengan konotasi konten negatif, walaupun itu fakta yang menimbulkan konsekuensi dan kerugian, maka hal ini bisa semakin mudah dipersidangkan.
Pembatasan Konten Digital oleh KPI
Dikutip dari berbagai opini yang beredar di media sosial, terdapat potensi bagi RUU Penyiaran melarang cara berpakaian, berpenampilan, pembawaan diri, dan ekspresi gender masyarakat (whatsupindonesia) (ET Asia). Tidak hanya itu, muncul opini bahwa RUU Penyiaran ini, jika disahkan, akan membatasi konten-konten dan film berbau seksualitas dan gender yang ada di sosial media serta streaming services (seperti Netflix) (Twitter knpharuspeduli); (Twitter remotivi). Dilansir dari Kompas, dalam Pasal 50 B ayat 2 huruf (g) RUU Penyiaran menyatakan bahwa SIS (Standar Isi Siaran) akan mencakup larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku homoseksual, biseksual, dan transgender (LGBT).
Hal ini membuktikan bahwa RUU Penyiaran merupakan produk patriarki yang melanggengkan norma-norma gender heteronormatif yang diskriminatif. Larangan ini merupakan penjajahan dan kemunduran terhadap upaya kesetaraan gender di Indonesia. RUU Penyiaran bertentangan dengan prinsip HAM dan demokrasi (jakartafeminist).
So, what if?
Jika RUU Penyiaran disahkan, misalkan seorang Pejabat A diduga melakukan korupsi, wartawan yang paling pertama mengendus kasus ini dilarang melakukan investigasi jurnalistik karena dianggap mengganggu proses investigasi dari Kepolisian atau KPK. Konten yang akan diberitakan di internet dan media sosial ditakutkan harus tunduk pada batasan dan pengawasan dari KPI, bisa saja mulai dari adanya sanksi, pemblokiran hingga anjuran take down, hingga pidana.
Bagaimana jika seseorang yang melakukan kerugian pada masyarakat dan negara tidak boleh diekspos oleh media sebelum penyelidikan selesai? Apakah wartawan dan jurnalis tidak boleh ikut menginvestigasi dan mengulik kebenaran atau kepalsuan berita ini? Bagaimana nasib seorang masyarakat yang ingin menyuarakan sebuah kasus dengan bantuan media sosial? Bagaimana caranya masyarakat mengetahui kebenaran informasi ini?
So, what now?
Indeks kebebasan pers di Indonesia turun dari peringkat 108 pada tahun 2023 menjadi 111 pada tahun 2024. RUU Penyiaran ini dikhawatirkan akan semakin memperburuk kondisi kebebasan pers di Indonesia, terutama dengan adanya risiko kriminalisasi terhadap jurnalis dan pembatasan terhadap laporan jurnalistik investigasi (DW).
Anggota Komisi I DPR RI, Nurul Arifin, menyatakan bahwa tidak ada niatan untuk membungkam pers dengan RUU Penyiaran ini. Menurutnya, RUU ini masih akan diharmonisasi di Badan Legislasi DPR RI dan terbuka untuk masukan dari masyarakat (DW).
Sebelum finalisasi, apapun bisa terjadi. Berhati-hatilah pada disinformasi karena permasalahan RUU Penyiaran 2024 masih simpang siur, masih berupa opini dan perdebatan.
Sebelum direalisasi, disinilah peran masyarakat menyuarakan pendapat hingga pertentangan, sebelum semuanya terlambat. Bersuaralah, sebelum suaramu dibatasi. Berpendapatlah tentang apapun, karena kebebasan pendapat adalah hak setiap manusia.
Jika Anda ingin membaca draft RUU Penyiaran 2024, bisa baca di sini (sumber: Tirto).