Dalam beberapa tahun terakhir, TikTok telah menjelma menjadi salah satu platform media sosial yang paling berpengaruh di dunia. Dengan jutaan pengguna aktif setiap harinya, TikTok menjadi panggung utama bagi berbagai ekspresi kreatif, baik dalam bentuk tarian, komedi, edukasi, maupun fenomena viral yang lahir secara spontan. Di Indonesia sendiri, TikTok menjadi bagian budaya dari kehidupan sehari-hari, terutama di kalangan anak muda yang kerap menjadikan platform TikTok sebagai sarana untuk mengekspresikan diri, mencari hiburan, sekaligus mengikuti tren global.
Namun, dibalik keseruan yang ditawarkan, tidak semua tren TikTok diterima dengan positif dan tanpa kritik. Semakin luas jangkauan dan pengaruh suatu tren, semakin besar pula peluang terjadinya kontroversi. Dua contoh terbaru yang menjadi bahan perdebatan oleh netizen di sosial media adalah tren “Velocity” dan “Tarian Hari Raya (THR)”. Dimana tren ini mulai ramai digunakan di sosial media TikTok dan menyebar luas ke platform sosial media lainnya.
Kedua tren tersebut tidak hanya cepat viral dan banyak diikuti oleh berbagai kalangan publik, namun juga mengundang perhatian masyarakat karena kedua tren ini dituding mengandung makna tersembunyi yang berkaitan dengan simbol keagamaan atau budaya tertentu.
Perdebatan ini muncul dari sebuah menfess di X dari akun @tanyakanrl pada 4 April 2025, dimana sender mengatakan “muslim only. guys, serius nanya. ini (emoticon tangan) lambang setankah? sender abis bikin velocity sama sodara, terus ditegur ibu2. katanya itu tarian pemanggil setan. terima kasih banyak.” Cuitan ini menjadi viral dan mendapatkan 21 ribu likes, 2.2 ribu repost, 1.6 ribu replies dan komentar dari netizen lain.
Dalam menfess di atas, sender menanyakan apakah Velocity merupakan lambang satan, disaat tren ini mulai berkembang di masa bulan Ramadhan bagi umat muslim. Bahkan disebutkan bahwa terdapat ibu-ibu yang mempercayai bahwa tren Velocity adalah pemanggil setan. Namun, apakah faktanya benar demikian?
Tidak hanya mempertanyakan makna terselubung dibalik tren Velocity, di kolom reply menfess yang sama di atas terdapat balasan dari netizen lain yang mempertanyakan “makna terselubung” dari tren Tarian THR di reply berikut:
Dalam cuitan diatas, akun @maijiwoo mengatakan bahwa ibunya mendapatkan broadcast dari aplikasi WhatsApp berisi cuplikan video dari akun TikTok @wajahlangsaa dengan tulisan “THR di Indonesia ternyata mencontoh tarian YAHUDI”. Dapat dilihat bahwa pesan dari akun TikTok tersebut sudah menyebar luas melalui pesan berantai di aplikasi WhatsApp, dimana pesan berantai WhatsApp umumnya kerap digunakan untuk menyebarkan berita hoax. Lantas, apakah informasi tersebut adalah fakta?
Tren Velocity dikenal sebagai teknik editing video yang memberikan efek dramatis pada gerakan melalui manipulasi kecepatan, sedangkan tren Tarian THR merupakan tarian ringan yang ramai diikuti menjelang perayaan Lebaran bagi umat muslim. Meski terlihat sederhana dan menghibur, kedua tren ini justru menuai pro dan kontra setelah sebagian pengguna media sosial mengaitkannya dengan simbol-simbol yang dianggap sensitif, seperti tuduhan satanisme dalam gestur Velocity dan dugaan plagiarisme budaya dalam Tarian THR.
Artikel ini bertujuan untuk mengurai fenomena tersebut secara lebih mendalam, melihatnya dari berbagai perspektif budaya, sosial, dan digital, serta mencoba menempatkan kontroversi yang muncul dalam kerangka yang lebih luas agar publik dapat memahami secara lebih jernih dinamika di balik tren-tren viral tersebut.
A. Tren Velocity dan Tuduhan Simbol Satanisme
Tren Velocity pada dasarnya merupakan teknik editing video dengan efek perubahan kecepatan gerakan (slow motion dan percepatan) yang mengikuti irama musik secara dinamis. Banyak konten kreator, termasuk idol K-Pop, menggunakan teknik ini untuk mempercantik video dance mereka, menciptakan estetika visual yang memukau.
Gerakan dalam tren Velocity dapat dilihat pada video ini. (Catatan : Video menggunakan animasi untuk menjaga privasi, menghindari pelanggaran hak cipta, dan menerapkan prinsip etika jurnalisme)
Dalam banyak video Velocity, kita bisa melihat berbagai gerakan tangan ekspresif, diantaranya adalah sebagai berikut:
Meskipun demikian, sebagian pihak menyoroti gerakan tangan dalam video-video Velocity justru dianggap mirip dengan simbol satanisme, seperti isyarat tangan dengan dua jari (tanduk setan) atau simbol metal (mengangkat jempol, telunjuk, dan kelingking). Beberapa unggahan di media sosial seperti Facebook dan Instagram menyebut tren ini sebagai bentuk penyebaran simbol okultisme secara terselubung di kalangan muda. Beberapa unggahan tersebut bisa dilihat di link berikut:
- https://www.facebook.com/groups/945070153098176/posts/1773971843541332/
- https://www.instagram.com/updatelokerjambi/p/DIAeRE-z0HI/?img_index=1
- https://www.instagram.com/fuadbakh23/reel/DIA3GrsSQLg/
- https://www.tiktok.com/@aku_cenot/video/7488657716529941768
Lantas, bagaimana kebenarannya?
Isyarat tangan dalam video Velocity memang memunculkan beragam interpretasi. Salah satu yang paling sering disorot adalah gestur yang menyerupai “sign of the horns”—yakni jari telunjuk dan kelingking diangkat, sementara jari lainnya dilipat (terkadang ditambah jempol yang diangkat). Dalam narasi media sosial tertentu, simbol ini disebut sebagai bagian dari penyebaran nilai-nilai okultisme atau bahkan satanisme secara terselubung. Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu. Gestur ini memiliki sejarah dan makna yang sangat kontekstual, tergantung siapa yang menggunakan, dalam budaya apa, dan untuk tujuan apa.
Sign of the horns memiliki berbagai versi. Misalnya, di Amerika Serikat, gerakan tangan ini dikenal sebagai Hook ‘Em Horns, simbol resmi Universitas Texas di Austin sejak 1955, yang dipakai sebagai bentuk dukungan terhadap tim football mereka (Texas Longhorns, n.d). Simbol ini menggambarkan tanduk banteng—maskot kebanggaan mereka—dan tidak memiliki konotasi okultisme sama sekali. Bahkan, politisi terkenal asal Texas seperti George W. Bush sering menggunakannya di hadapan publik sebagai bentuk solidaritas dengan identitas lokal.
Sumber Gambar: Texas Longhorns
Sementara itu, ada juga versi yang mirip tetapi sangat berbeda makna, yakni isyarat ILY (I Love You) dalam American Sign Language (ASL). Gestur ini menggabungkan huruf I, L, dan Y dan digunakan oleh komunitas tuna rungu dan tuna wicara untuk mengekspresikan kasih sayang (Ferreiro, 2019). Isyarat ini telah digunakan oleh siswa tunarungu di AS dan dikenal luas sejak pertama kali dipopulerkan pada tahun 1976 oleh Richard Dawson, pembawa acara Family Feud. Artinya, penggunaannya di ruang publik sudah dikenal lebih dari 40 tahun. Dalam konteks ini, simbol yang secara visual menyerupai “tanduk” justru bermakna cinta, bukan kutukan.
Sumber Gambar: GBI Sukawarna Bandung
Namun, dalam narasi yang lebih konspiratif, beberapa kalangan mengaitkan simbol ini dengan Freemason dan “El Diablo”—yakni tanda rahasia untuk mengenali sesama anggota atau bentuk penghormatan kepada entitas setan. Pandangan ini sering beredar dalam literatur konspirasi, yang menafsirkan setiap kemunculan simbol tersebut sebagai tanda keanggotaan dalam jaringan elite global atau bagian dari rencana besar Tatanan Dunia Baru. Berdasarkan tulisan Club Pecinta Hidayah yang ditulis di WordPress (2014) lalu, mengaitkan simbol ini dengan konspirasi ritual okultik, penyembahan setan, hingga elite global yang disebut terlibat dalam agenda tersembunyi seperti Tatanan Dunia Baru (New World Order). Ditunjukkan juga bahwa banyak tokoh publik menggunakan simbol ini secara terbuka, yang ditafsirkan sebagai bentuk komunikasi rahasia antaranggota kelompok tersebut. Namun pandangan-pandangan seperti ini sering kali bersifat spekulatif dan tidak berdasarkan kajian kontekstual yang solid.
Sumber Gambar: GBI Sukawarna Bandung
Yang menarik adalah bagaimana simbol yang sama bisa dipahami sangat berbeda dalam budaya berbeda dengan konteks yang berbeda pula. Dalam ranah budaya populer, khususnya dalam dunia musik heavy metal, “sign of the horns” justru telah lama menjadi simbol ekspresi artistik yang kuat. Ia tidak sekadar gestur, melainkan representasi dari semangat pemberontakan, kebebasan berekspresi, dan solidaritas antar komunitas.
Simbol ini berfungsi sebagai bentuk identifikasi kolektif di antara para penggemar metal, menciptakan rasa keterhubungan emosional dalam ruang-ruang performatif seperti konser. Ronnie James Dio, vokalis legendaris dari band Black Sabbath, adalah tokoh yang sangat berperan dalam mempopulerkan gestur ini dalam dunia musik (Chakim, 2024). Namun yang sering diabaikan adalah latar kultural dari pilihan tersebut. Dio menyatakan bahwa isyarat tangan itu terinspirasi dari neneknya yang berasal dari Italia Selatan. Di sana, gestur tersebut dikenal sebagai malocchio, yakni simbol pelindung untuk menangkal energi jahat atau nasib buruk. Dengan demikian, asal-usul isyarat ini justru berakar pada tradisi apotropaic—yakni usaha untuk melindungi diri dari pengaruh buruk, bukan untuk mengundang dan/atau melambangkan makna buruk.
Sumber Gambar: Unusualverse
B. Tarian Pemanggil THR: Ketika Budaya Luar Menyusup Lewat Joget
Selain tren Velocity, muncul pula kontroversi seputar “Tarian THR” yang viral menjelang Lebaran 2025. Tarian THR yang viral di TikTok ini dilakukan dengan gerakan yang ringan dan ceria—seperti langkah ke kanan dan kiri, kemudian lompatan kecil maju mundur—dan dilakukan secara serempak oleh banyak orang sambil membentuk barisan di belakang, ketika tarian selesai maka setiap penari mendapatkan uang THR. Animasi ilustrasi gerakan bisa dilihat di video berikut.
(Catatan : Video menggunakan animasi untuk menjaga privasi, menghindari pelanggaran hak cipta, dan menerapkan prinsip etika jurnalisme)
Meski awalnya terlihat biasa saja, sebagian warganet menuduh gerakan itu mirip dengan tarian tradisional Yahudi yang disebut Hora. Tarian ini cukup populer di Israel dan beberapa negara Eropa Timur. Biasanya dilakukan dalam lingkaran, dengan gerakan kaki yang kompak dan penuh semangat sebagai bentuk kegembiraan dan kebersamaan komunitas (Priyani, 2025). Contoh video tarian Hora Dance dapat dilihat disini.
Kemiripan gerakan ini justru memicu tuduhan plagiarisme budaya, bahkan muncul dugaan bahwa budaya asing—khususnya yang berhubungan dengan Yahudi atau Israel—disisipkan secara sengaja ke dalam konten lokal. Tuduhan ini tidak lepas dari persepsi negatif terhadap Israel, terutama karena konflik yang sedang berlangsung dengan Palestina. Banyak orang mengaitkan simbol atau budaya yang berhubungan dengan Israel dengan tindakan kekerasan terhadap rakyat Palestina.
Karena itulah, hal-hal yang seharusnya netral seperti gerakan tari atau simbol budaya bisa berubah jadi isu sensitif. Dalam kasus ini, masalahnya bukan sekadar soal meniru tarian, tapi soal identitas, sejarah konflik, dan bagaimana simbol-simbol tertentu bisa memicu emosi dan perdebatan di ruang publik.
Lantas, bagaimana kebenarannya?
Nyatanya, tarian tersebut bukan berasal bangsa Jewish (Yahudi). Berdasarkan berbagai sumber, tarian yang disebut-sebut sebagai “kontroversial” dalam beberapa perdebatan publik sebenarnya lebih menyerupai Letkajenkka, sebuah tarian rakyat asal Finlandia yang populer sejak tahun 1960-an. Tarian ini merupakan bentuk modern dari jenkka, sejenis tarian rakyat Eropa Utara yang serupa dengan polka, dan memiliki tempo cepat serta ritme yang berulang (Gegung, 2025).
Berdasarkan penelusuran Tim FactMeter, Letkajenkka mencapai puncak popularitas global setelah seorang musisi Finlandia bernama Rauno Lehtinen menciptakan lagu Letkis (atau Letkiss) pada awal dekade 1960-an. Lagu ini menyebar ke berbagai belahan dunia, dan tarian Letkajenkka pun menjadi fenomena lintas budaya yang ditampilkan di sekolah-sekolah, acara komunitas, hingga program televisi di berbagai negara. Bahkan di Jepang dan beberapa negara Asia lainnya, tarian ini pernah diajarkan sebagai bagian dari pendidikan jasmani atau pertunjukan seni anak-anak.
Secara gerakan, Letkajenkka dikenal dengan pola yang sederhana namun energik. Tarian ini biasanya dilakukan dalam formasi barisan atau berpegangan tangan, dengan langkah kaki yang bergerak maju, mundur, dan ke samping secara ritmis. Hal ini menciptakan kesan kegembiraan, kebersamaan, dan kesatuan gerak antar-penari. Dalam konteks budaya Finlandia, gerakan tersebut merepresentasikan semangat kerja kolektif dan semangat komunitas pedesaan, terutama mereka yang bekerja di alam terbuka atau pedalaman hutan lebat.
Secara etimologis, kata jenkka sendiri sering dikaitkan dengan gambaran pekerja hutan atau penebang kayu—profesi yang sangat lekat dengan identitas nasional Finlandia sebagai negara yang kaya hutan dan alam liar. Sedangkan kata letka berarti “barisan”, yang merujuk pada formasi para penari yang bergerak bersamaan dalam satu irama, menggambarkan keteraturan dan kohesi sosial. Untuk video lengkapnya, dapat diakses disini.
Budaya Pop, Konteks Global, dan Tantangan Interpretasi
Fenomena seperti Velocity dan Tarian THR mencerminkan betapa dinamisnya budaya populer dalam era digital. Budaya pop tidak lagi hanya dikonsumsi secara pasif, tetapi juga diciptakan, dimodifikasi, dan disebarkan ulang oleh pengguna internet yang berasal dari berbagai latar belakang sosial, budaya, dan agama. Dalam proses ini, makna suatu simbol, gestur, atau ekspresi visual dapat berubah secara cepat—bergeser dari makna asalnya atau bahkan mendapatkan tafsir baru yang tidak pernah dimaksudkan oleh penciptanya.
Media sosial seperti TikTok memungkinkan penyebaran tren secara lintas batas dalam hitungan detik. Namun, kecepatan viralitas ini sering kali tidak dibarengi dengan kecepatan dalam memahami konteks budaya di balik sebuah tren. Ketika sebuah gestur atau tarian menjadi populer, sebagian pengguna akan menikmatinya sebagai hiburan, sementara sebagian lainnya mungkin merasa terganggu atau tersinggung karena melihatnya sebagai bentuk pelecehan, penyimpangan, atau infiltrasi nilai-nilai asing.
Di sinilah pentingnya literasi media, yakni kemampuan untuk membaca, menafsirkan, dan memverifikasi informasi secara kritis di tengah derasnya arus konten digital. Literasi media membantu kita untuk tidak hanya melihat apa yang tampak di permukaan, tetapi juga bertanya: dari mana tren ini berasal? Apa konteks sejarah dan budayanya? Apakah simbol ini memiliki makna yang seragam di semua tempat dan waktu?
Bersamaan dengan itu, kesadaran budaya menjadi penting untuk menghindari bias persepsi. Di era globalisasi, simbol-simbol budaya semakin sering berpindah-pindah lintas batas. Sebuah gestur yang bermakna positif di satu wilayah bisa jadi bermakna negatif di tempat lain. Jika tidak disikapi dengan bijak, perbedaan interpretasi ini dapat memicu konflik, prasangka, atau bahkan memperkuat narasi-narasi konspiratif yang tidak berdasar.
Alih-alih langsung melabeli suatu tren sebagai “satanis“, “penyusupan budaya”, atau “berbahaya”, penting bagi kita untuk mengedepankan proses klarifikasi dan pembacaan kritis. Momen viral seperti ini justru bisa menjadi ruang edukasi publik untuk mengenalkan sejarah simbol, memahami pluralitas makna, dan mendorong diskusi lintas budaya secara terbuka. Dalam ruang maya yang kompleks ini, kita semua memiliki peran untuk menciptakan suasana yang inklusif, di mana kritik tetap mungkin, tetapi harus berpijak pada pemahaman yang utuh, bukan semata asumsi atau ketakutan kolektif.
Kesimpulan
Tren Velocity dan Tarian THR adalah contoh nyata bahwa kreativitas digital bukan sekadar hiburan sesaat. Keduanya menunjukkan bagaimana konten yang tampaknya ringan dan populer bisa berkembang menjadi medan tafsir, kontroversi, bahkan perdebatan identitas yang serius. Tuduhan terhadap simbol-simbol tertentu—baik terkait satanisme maupun budaya asing—menunjukkan bahwa ruang digital merupakan cermin dari dinamika sosial-politik yang lebih luas: tentang siapa yang berhak menentukan makna, siapa yang merasa terancam, dan bagaimana identitas budaya dinegosiasikan dalam ruang yang sangat terbuka namun tetap sarat batas.
Dalam konteks ini, perlu ditegaskan bahwa kebebasan berekspresi dalam budaya digital harus berjalan seiring dengan tanggung jawab kultural. Kreator konten perlu menyadari bahwa karya kontennya bisa ditafsirkan berbeda-beda, sementara audiens juga perlu memiliki kerendahan hati untuk menyadari bahwa tidak semua hal bisa dan/atau harus dimaknai secara hitam-putih. Dialog menjadi kunci untuk menjembatani perbedaan, sementara literasi media menjadi bekal agar publik tidak mudah tergelincir pada disinformasi atau sensasionalisme.
Lebih jauh, fenomena ini juga mengingatkan kita bahwa dunia digital bukan ruang yang netral. Ia dipenuhi narasi, ideologi, dan interpretasi yang saling bersilangan. Dalam situasi seperti ini, pendekatan reflektif menjadi sangat penting: tidak cukup hanya bertanya apa yang viral, tetapi juga mengapa itu viral, siapa yang diuntungkan atau dirugikan, serta bagaimana kita sebagai publik meresponsnya secara bijak.
Dengan demikian, belajar memahami makna simbol, menghargai keragaman budaya, dan bersikap kritis terhadap narasi-narasi viral bukan hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga bagian dari proses kolektif membangun ruang diskusi digital yang sehat.
Sebagai audiens, sebagai pengguna internet, masyarakat diharapkan untuk lebih kritis dan terbuka pada setiap berita dan budaya yang ada di dunia maya. Tidak hanya terbuka pada tren baru dan menerima semua informasi mentah-mentah, namun juga membuka ruang diskusi, melakukan riset dan cross check pada fakta yang sebenarnya agar terhindar dari hoax.
Referensi
Website:
- Chakim, M.N. (2024, Juli 23). Penggemar Musik Metal Wajib Tahu, Sejarah Ikon Metal Devil Horns atau Metal Horns. Retrieved from https://kedu.suaramerdeka.com/gaya-hdiup/2113188130/penggemar-musik-metal-wajib-tahu-sejarah-ikon-metal-devil-horns-atau-metal-horns
- Ferreiro, Emilio. (2019, Juni 12). The Sign I Love You of Sign Language: Meaning, Origin, Curiosities and Celebrities. Retrieved from https://www.unusualverse.com/2019/06/i-love-you-sign-origin-curiosities-celebrities.html
- Gegung, C.M. (2025, April 4). Asal Usul Tarian “THR” Yang Viral di Medsos. Retrieved from https://www.rri.co.id/hiburan/1433356/asal-usul-tarian-thr-yang-viral-di-medsos
- Priyani, Agis. (2025, April 4). Apa Itu Tarian Hora Yahudi? Tarian yang Mirip dengan Tarian THR yang Viral di Indonesia. Retrieved from https://bangka.tribunnews.com/2025/04/04/apa-itu-tarian-hora-yahudi-tarian-yang-mirip-dengan-tarian-thr-yang-viral-di-indonesia#:~:text=TARIAN%20HORA%20YAHUDI%20%2D%2D%20Tarian,mempelai%20di%20kursi%20sambil%20menari.
- Club Pecinta Hidayah. (2014, Mei 30). Setanisme Ekspos; “El Diablo” (Sinyal Tiga Jari). Retrieved from https://clubpecintahidayah.wordpress.com/2014/05/30/setanisme-ekspos-el-diablo-sinyal-tiga-jari/
- Texas Longhorns. (n.d). Traditions: Hook ’em, Horns hand signal. https://texaslonghorns.com/sports/2013/7/28/traditions_0728135417.aspx?id=265
X:
- https://x.com/tanyakanrl/status/1907864447588213082
- https://x.com/maijiwoo/status/1908066235004444950
Video:
- https://www.tiktok.com/@tickle.fickle/video/7489830893696191752?q=Velocity%20animasi&t=1744039818484
- https://www.tiktok.com/@fantasticfami/video/7487232749078711560?q=tren%20tari%20thr%20animasi&t=1744043014827
- https://www.instagram.com/aishamaharani/reel/DH_WwQ0TD4h/
- https://www.youtube.com/watch?v=vvretYJ8sh8
- https://www.facebook.com/groups/945070153098176/posts/1773971843541332/
- https://www.instagram.com/updatelokerjambi/p/DIAeRE-z0HI/?img_index=1
- https://www.instagram.com/fuadbakh23/reel/DIA3GrsSQLg/
- https://www.tiktok.com/@aku_cenot/video/7488657716529941768