Terpilihnya Zohran Mamdani sebagai Wali Kota New York, Amerika Serikat pada 5 November 2025 mengalahkan mantan Gubernur New York, Andrew Cuomo dan kandidat Partai Republik, Curtis Sliwa dengan total perolehan suara sebanyak50.4% dari total suara, membuatnya menjadi Wali Kota muslim pertama dalam sejarah Kota New York.
Pria berusia 35 tahun dengan nama lengkap Zohran Kwame Mamdani yang memiliki darah India dari Ibu dan Uganda dari Ayahnya ini lahir di Uganda, dan dirinya baru mendapatkan status kewarganegaraan Amerika Serikat melalui naturalisasi pada 2018 lalu setelah pada tahun 1998 dirinya dan keluarganya pindah ke New York.
Karir politiknya dimulai setelah bergabung dengan Partai Demokrat dengan aliransosialis demokratnya, pada 2020 Zohran terpilih menjadi anggota Majelis Negara Bagian New York dari Distrik 36, yang berada di lingkungan Bedford–Stuyvesant, Brooklyn, dan juga mencakup sebagian wilayah utara Crown Heights, New York.
Sosok Progresif yang Tidak Pernah Ada Sebelumnya
Kemenangan Zohran Mamdani sebagai wali kota baru New York City menjadi salah satu peristiwa politik paling menarik tahun ini. Sosoknya yang pro-LGBTQ+ dan beragama Muslim menjadikannya figur yang berbeda dari tipikal pemimpin kotabesar Amerika selama ini. Dari sisi positif, banyak yang melihat terpilihnya Mamdani sebagai langkah maju bagi representasi kelompok minoritas. Kota seberagam New York akhirnya dipimpin oleh seseorang yang mencerminkan keragaman itu sendiri.
Namun kondisi ini juga dapat menjadi pedang bermata dua bagi New York dan bahkan Amerika Serikat secara lebih luas. Dukungan Mamdani terhadap agenda progresif, khususnya isu-isu identitas dan kesetaraan sosial, bisa memunculkanresistensi dari kelompok konservatif. Bagi sebagian warga Amerika yang menjunjungnilai-nilai tradisional, Mamdani dianggap tidak sejalan dengan prinsip-prinsip yang mereka anggap sebagai fondasi identitas nasional. Tekanan politik dari kelompok iniberpotensi menghambat agenda Mamdani dan memperlebar jurang polarisasi yang memang sudah tajam.
Di sisi lain, program-program yang ia usung seperti transportasi publik gratis, perluasan perumahan terjangkau, dan layanan sosial yang lebih kuat, mendapatsambutan positif dari generasi muda dan kelompok masyarakat kelas pekerja. Mereka melihat Mamdani sebagai pemimpin yang menawarkan solusi nyataterhadap persoalan biaya hidup dan ketimpangan di kota. Meski begitu, implementasi agenda ambisius tersebut tidak akan mudah. New York memilikibirokrasi rumit dan dinamika politik yang sering kali tidak selaras dengan visiprogresif yang besar.
Pada akhirnya, kepemimpinan Zohran Mamdani menjadi ujian bagi kemampuan Amerika untuk menerima perubahan dan keberagaman dalam bentuk yang lebih nyata. Ia membawa harapan baru, tetapi juga memunculkan tantangan politik yang tidak kecil. Keberhasilannya memimpin New York akan menentukan apakah pendekatan politik progresif dapat bertahan di kota global seperti New York, atau justru memicu gelombang penolakan dari mereka yang merasa nilai-nilai tradisional sedang tergerus.
Pandangan Mamdani mengenai konflik Palestina menjadi salah satu bagian paling diperdebatkan dari karier politiknya. Ia secara terbuka menyatakan dukungan terhadap gerakan BDS sebagai cara tekanan non-kekerasan terhadap Israel, dan menilai pendekatan ini selaras dengan keyakinannya pada efektivitas aksi non-kekerasan dalam mendorong kepatuhan terhadap hukum internasional. Mamdani juga pernah menggambarkan operasi militer Israel di Gaza sebagai “genosida,” sebuah penilaian yang membuatnya semakin populer di kalangan pendukung Palestina, tetapi sekaligus memicu kritik signifikan dari kelompok pro-Israel di Amerika. Selain itu, ia menjelaskan bahwa slogan “globalize the intifada” menurutnya merupakan bentuk solidaritas terhadap perjuangan hak asasi Palestina, bukan seruan untuk melakukan kekerasan seperti yang dituduhkan sebagian pihak. Ketegasan sikap ini berpotensi menjadi salah satu sumber dinamika politik terbesarselama masa jabatannya, terutama mengingat isu Palestina sangat sensitif dalampolitik Amerika dan peran penting komunitas Yahudi di New York.
Simbol Arah Baru Demokrasi Amerika
Kepemimpinan Mamdani menjadi semacam eksperimen politik berskala besar.Apakah kota multikultural seperti New York bisa dipimpin oleh sosok progresif radikal tanpa menimbulkan gejolak? Apakah representasi minoritas bisa bertransformasi menjadi tata kelola yang solid? Ataukah perubahan ini justru akan memicu kontra-gerakan dari kelompok yang merasa terancam? Pertanyaan-pertanyaan inimenjadikan pemerintahannya bukan hanya cerita lokal, tetapi cermin dinamikademokrasi Amerika secara keseluruhan.
Akhirnya kepemimpinan Zohran Mamdani akan menjadi gambaran tentang bagaimana New York atau mungkin Amerika Serikat secara keseluruhan, menangani dinamika sosial dan politik yang kian rumit. Ia membawa agenda progresif yang besar, sikap tegas terhadap isu-isu sensitif, serta identitas yang merepresentasikan keberagaman kota yang ia pimpin. Meski demikian, semua itu diiringi tantangan yang tidak sedikit. Keberhasilan Mamdani akan bergantung pada kemampuannya menyeimbangkan idealisme dengan praktik pemerintahan sehari-hari, sekaligus menjaga ruang dialog di tengah masyarakat yang semakin terbelah. Dengan demikian, masa pemerintahannya tidak hanya menjadi bab penting dalamkarier politiknya, tetapi juga menjadi indikator penting bagi arah demokrasi Amerika di masa mendatang.
Referensi
- https://tirto.id/apakah-zohran-mamdani-pro-palestina-cek-fakta-hlbD
- https://www.tempo.co/infografik/infografik/zohran-mamdani-wali-kota-muslim-pertama-new-york-2087324
- https://international.sindonews.com/read/1588541/42/calon-wali-kota-muslim-new-york-zohran-mamdani-dan-kontroversi-slogan-intifada-1751616424
- https://www.jawapos.com/internasional/016804986/zohran-mamdani-wali-kota-muslim-pertama-yang-mengguncang-new-york-dengan-janji-bus-gratis
