Opini

Ketika Mata Uang menjadi Simbol Kedaulatan

Editorial
ED
24 November 2025
cover

Mata uang nasional merupakan simbol kedaulatan suatu negara yang paling konkret, mewakili kendali penuh atas perekonomian dan kemampuan sebuah bangsa untuk mengatur dirinya sendiri. Karena itulah, hak untuk menerbitkan uang sendiri sering dianggap sebagai penanda kemerdekaan yang hakiki. Di Indonesia, filosofi mendalam ini diwujudkan melalui kehadiran Oeang Republik Indonesia (ORI) untuk pertama kalinya. Penerbitannya bukan hanya urusan keuangan, melainkan sebuah deklarasi politik bahwa Republik Indonesia ada dan berdiri secara mandiri.

Menegakkan Republik Indonesia melalui ORI

Pasca proklamasi, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bergerak cepat untuk menata kehidupan bernegara. Langkah-langkah fundamental seperti pengesahan konstitusi, pengangkatan pemimpin negara, dan pembentukan kementerian-kementerian inti segera dilakukan, termasuk Kementerian Keuangan. Tata wilayah negara juga diatur dengan membaginya menjadi delapan provinsi. Namun, di balik kemajuan di bidang politik dan pemerintahan, sebuah masalah krusial mengintai: kekosongan mata uang nasional. Perekonomian saat itu masih didominasi oleh uang-uang kolonial dari era Belanda dan Jepang, sementara ancaman penggunaan uang Netherlands Indies Civil Administration (NICA) oleh Belanda menjadi tantangan serius bagi kedaulatan ekonomi Republik Indonesia.

Inisiatif pertama diambil oleh Menteri Keuangan A.A. Maramis melalui dekrit tegas pada 29 September 1945. Dekrit tersebut mencabut wewenang pejabat Jepang dalam menerbitkan surat perintah bayar dan mengalihkannya kepada Pembantu Bendahara Negara di bawah Kementerian Keuangan. Masyarakat juga diimbau untuk menolak transaksi tanpa tanda tangan resmi—sebuah pernyataan politik bahwa Republik Indonesia telah merdeka. Langkah ini diikuti penetapan tiga mata uang sah pada 1 Oktober, kemudian pencabutan status berlaku uang NICA keesokan harinya guna mencegah dominasi ekonomi Belanda. Pada 3 Oktober, pemerintah akhirnya menetapkan empat jenis mata uang yang resmi berlaku. Meski penuh gejolak, rangkaian kebijakan ini berhasil meletakkan fondasi sistem keuangan negara ini.

Pada 7 November 1945, Menteri Keuangan A.A. Maramis membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia dengan T.R.B. Sabaroedin dari Bank Rakyat Indonesia sebagai ketua. Panitia ini beranggotakan perwakilan dari Kementerian Keuangan, Kementerian Penerangan, BRI, dan Serikat Buruh Percetakan. Proses pencetakan ORI akhirnya dimulai pada Januari 1946 dengan jam operasi yang sangat panjang, meski harus dihentikan di Jakarta pada Mei 1946 karena alasan keamanan. Seluruh operasi kemudian dipindahkan ke beberapa kota di Jawa seperti Yogyakarta dan Malang. Di tengah tantangan perang yang membuat perhitungan uang beredar dan kondisi keuangan negara sangat sulit, panitia terus bekerja dengan mencetak uang yang juga berfungsi sebagai alat diplomasi.

Puncaknya terjadi pada 30 Oktober 1946, ketika Oeang Republik Indonesia (ORI) edisi pertama resmi beredar. Uang yang ditandatangani A.A. Maramis ini menjadi simbol kedaulatan ekonomi, meskipun ia telah digantikan oleh Sjafruddin Prawiranegara. Desain ORI terbilang sederhana, namun kehadirannya berarti Republik kini memiliki alat tukar resminya sendiri. Memegang ORI saat itu sama maknanya dengan mengibarkan bendera kebangsaan; keduanya adalah bukti tak terbantahkan bahwa kemerdekaan Indonesia telah menjadi kenyataan yang konkret.

Selanjutnya dalam perjalanan kedaulatan Indonesia dimulai dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag pada akhir 1949. Hasil terpenting dari konferensi ini adalah pengakuan kedaulatan Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk Republik Indonesia Serikat (RIS). Sebagai konsekuensinya, Menteri Keuangan kemudian diberi kewenangan untuk menerbitkan mata uang rupiah RIS pada Mei 1950. Namun, sejarah mencatat bahwa usia RIS tidaklah panjang. Pada Agustus 1950, Indonesia kembali ke bentuk Negara Kesatuan, sehingga uang RIS pun berakhir masa berlakunya. Kendati singkat, keberadaan mata uang RIS menjadi mata rantai penting dalam transisi menuju kesatuan moneter Indonesia yang lebih kokoh.

Memasuki era 1950-an, fokus pemerintah beralih dari perang ke stabilisasi ekonomi. Sjafruddin Prawiranegara yang kini menjadi arsitek kebijakan meluncurkan “Gunting Sjafruddin” pada 1951-1952. Kebijakan kontroversial ini memotong uang kertas lama dan menukarnya dengan uang baru dari De Javasche Bank, sebagai cara mengurangi uang beredar dan menekan inflasi pascaperang. Metode gunting dipilih karena rekening bank saat itu dibekukan. Hasilnya, pemerintah berhasil mendapatkan pinjaman Rp1,5 miliar melalui Obligasi Republik Indonesia 1950. Tak lama kemudian, De Javasche Bank dinasionalisasi dan resmi berubah menjadi Bank Indonesia pada 1 Juli 1953, mengakhiri era dominasi mata uang asing dan menandai lahirnya bank sentral Indonesia.

Untuk beberapa waktu, Indonesia menjalankan sistem moneter ganda. Kementerian Keuangan mengeluarkan uang kertas dan logam dengan nilai di bawah Rp5, sementara Bank Indonesia (BI) menangani pecahan yang lebih besar. Sistem dualisme ini berakhir setelah disahkannya Undang-Undang Bank Indonesia Nomor 13 Tahun 1968, yang memberikan hak monopoli penuh kepada BI untuk mencetak semua uang kertas dan logam. Alasan perubahan ini adalah untuk menciptakan keseragaman dan efisiensi, mengingat keberadaan dua jenis uang yang berbeda hanya menimbulkan kebingungan di masyarakat. Dengan demikian, Indonesia akhirnya memiliki satu mata uang tunggal yang stabil dan menjadi simbol moneter nasional.

Makna ORI bagi Generasi Masa Kini

Dari sejarah ORI dan perkembangannya, kita dapat memetik tiga pelajaran mendasar. Pertama, kedaulatan ekonomi adalah hasil perjuangan keras di tengah kondisi perang dan blokade, yang diwujudkan oleh para tokoh seperti A.A. Maramis dan Sjafruddin Prawiranegara melalui penerbitan mata uang nasional. Kedua, stabilitas moneter menjadi prasyarat penting untuk kemajuan, yang dicapai melalui kebijakan tegas seperti Gunting Sjafruddin. Ketiga, lembaga seperti Bank Indonesia berperan sebagai penjaga nilai-nilai kemerdekaan, bukan sekadar institusi birokrasi.

Di tengah dinamika global memasuki akhir 2025, dari fluktuasi mata uang hingga digitalisasi, pelajaran dari ORI justru terasa sangat relevan. Indonesia telah melewati berbagai tantangan, dari krisis 1998 hingga pengembangan uang digital, dengan satu pelajaran utama: uang nasional adalah simbol kedaulatan yang tak tergantikan. Hal ini adalah seruan bagi generasi muda untuk melanjutkan perjuangan ini dengan membangun sistem keuangan yang lebih kuat. Seperti ORI yang pernah mempersatukan, rupiah masa kini harus tetap menjadi alat pemersatu bangsa.

Indikator Fact Meter