Para pemuda Indonesia semakin tertarik untuk bekerja di luar negeri. Pada usia produktif, keinginan untuk mendapat pekerjaan dengan gaji yang tinggi telah membius generasi muda Indonesia. Tagar #kaburajadulu menjadi penguat argumen bahwa anak-anak muda melihat pergi ke luar negeri adalah solusi kehidupan yang lebih baik. Terlebih, validasi sosial juga diperlukan oleh anak-anak muda, saat mereka bisa pamer keberadaan di luar negeri di media sosial. Data Jobstreet Decoding Global Talent 2024 menjelaskan 67 persen orang Indonesia menyatakan tertarik bekerja di luar negeri. Angka ini naik signifikan selepas pandemi, meski masih belum setinggi saat sebelum wabah COVID-19 yang menyentuh angka 81 persen.
Namun, Kompas dalam Tajuk Rencana tanggal 03 Januari 2024 kembali membunyikan alarm terkait perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Disaat peluang dan minat bekerja di luar negeri semakin besar, perlindungan terhadap pekerja migran masih menjadi catatan krusial. Perlindungan terhadap pekerja migraine Indonesia mutlak dilakukan. Hal ini penting dalam menghadapi berbagai modus baru pengiriman tenaga kerja yang mengandung unsur tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
Pengiriman PMI melalui jalur magang ke Jepang, misalnya. Akhir Desember 2024, seorang PMI magang yang bekerja di Hokkaido, Jepang, harus pulang dalam peti jenazah karena kecelakaan kerja. Di awal Januari 2025, juga di Hokkaido, seorang PMI magang ditemukan tidak bernyawa karena bunuh diri. Jepang telah menjadi negara populer tujuan PMI. Masalahnya, kesempatan yang ada banyak ditawarkan sebagai tenaga magang. Beragam kasus yang menimpa tenaga magang di Jepang, mulai dari tindak kekerasan fisik dan verbal, jam kerja yang panjang, serta gaji yang tidak sesuai perjanjian. Parahnya, pengiriman tenaga magang dari Indonesia ke Jepang terindikasi TPPO.
Sejak lima tahun terakhir, keberadaan PMI magang di Jepang menuai pro dan kontra. Pada pertengahan 2023, terungkap beberapa mahasiswa magang dari Payakumbuh, Sumatera Barat dipaksa bekerja 14 jam per hari tanpa hari libur dan istirahat makan hanya 15 menit. Dua orang Direktur Politeknik yang mengirimkan mahasiswa tersebut ditetapkan sebagai tersangka TPPO. Praktik ini bahkan disinyalir telah terjadi sejak 2012 di institusi tersebut.
Kekhawatiran penyalahgunaan tenaga kerja magang ini sebenarnya dibahas oleh pemerintah Jepang. Mereka berupaya merevisi aturan magang tenaga asing kontroversial yang dipakai sejak 1993 (NHK, 2023). Pada Maret 2024, pemerintah telah menyiapkan draft RUU baru yang diberi nama Ikusei Shuro atau nurturing employment (ketenagakerjaan yang terpelihara dengan baik). Para pengamat tenaga kerja Jepang menganggap peraturan baru ini memberi ruang yang lebih lega bagi pekerja asing. Namun, peraturan tersebut masih belum membahas tentang persoalan hak asasi para pekerja asing, terutama para pemagang.
Kita juga belum lupa dengan tragedi puluhan mahasiswa magang dari Indonesia yang menjadi korban TPPO di Eropa. Di Hungaria, Ceko dan Jerman, mahasiswa magang mengalami masalah. Di Jerman, masalah tenaga magang ini bahkan telah mengundang keprihatinan. Puluhan pemagang melaporkan masalah pekerjaan mereka yang eksploitatif dan tidak manusiawi. Eksploitasi tenaga magang nyatanya telah menjadi masalah baru dalam diskursus pekerja migran Indonesia kontemporer.
Fase Baru Pekerja Migran
Sejatinya, Indonesia sedang mengalami fase baru pekerja-pekerja muda. Para pemuda yang penuh keingintahuan akan kehidupan di luar negeri, harusnya dibekali dengan kemampuan mengenali, menakar resiko dan memahami aspek kehidupan dan peraturan yang menanti mereka. Kealpaan dalam memahami hal-hal tersebut bisa berakibat serius pada keberadaan mereka dan bisa mengakibatkan trauma atau bahkan bertaruh nyawa. Informasi pekerjaan mudah dan iming-iming mendapatkan gaji besar yang disebar melalui media sosial nyatanya telah menarik minat banyak pemuda Indonesia
Calon PMI dengan akses digital yang baik, tidak serta merta menciptakan kesadaran, kewaspadaan, maupun literasi terkait pekerjaan di luar negeri yang baik pula. Ini menambah panjang daftar masalah yang ada dalam wacana perlindungan PMI, diantaranya: potongan biaya agensi, PMI non-prosedural, potongan gaji untuk biaya penempatan, remitansi, penganiayaan. Sekarang, dengan adanya generasi muda dan akses digital, masalah baru muncul. Seperti rekrutmen ilegal melalui media sosial, penipuan, pemerasan, penyekapan, pemalsuan identitas, dan TPPO.
Teknologi digital telah membuka peluang informasi pekerjaan di luar negeri yang bisa diakses dengan mudah. Namun, teknologi digital juga telah menjadi alat memanipulasi informasi, mengelabui calon pekerja migran, dan memanfaatkan kenaifan para pemuda yang menginginkan validasi sosial.
Peran Krusial Kementerian Baru
Apresiasi perlu diberikan kepada rezim pemerintahan saat ini, yang memberikan porsi perhatian khusus melalui Menteri Perlindungan PMI. Tentu kementerian ini punya tugas spesifik melindungi pekerja migran, tidak hanya mengotak-atik teknis pengiriman dan peran agensi saja. Prioritaskan perlindungan yang hakiki bagi PMI. Pahami betul perkara hak asasi mereka sebagai pekerja, kesulitan yang pasti dihadapi di negeri penempatan, serta mewaspadai proses rekrutmen, persiapan keberangkatan, dan proses pemulangan serta kondisi PMI saat purna tugas. Wewenang menteri baru jelas lebih besar dengan upaya perlindungan yang lebih nyata.
Untuk merespon fase baru PMI, maka kemampuan menteri dan jajarannya untuk dapat memahami karakter pemuda yang merupakan digital natives. Strategi diperlukan untuk menyadarkan generasi muda PMI tentang betapa pentingnya memahami bidang pekerjaan, proses migrasi fisik dan budaya, serta tantangan tinggal di luar negeri.
Perbarui Aturan
Peraturan harus dapat diaplikasikan secara aktual dan kontekstual. Maka, peraturan menteri terkait perlindungan PMI pun harus dibuat dan diperbarui guna merespon perkembangan teknologi digital beserta modus-modus yang sudah dikenali. Karakter generasi muda yang mempercayakan banyak informasi melalui media sosial perlu untuk dapat diarahkan melalui konten-konten yang diproduksi untuk melakukan counter terhadap misinformasi dan disinformasi.
Sementara itu, koordinasi dengan kementerian terkait seperti Kementrian Luar Negeri, Kementrian Hukum, Kemkomdigi, Kementrian Tenaga Kerja, dan Kementrian HAM perlu dilakukan untuk memperjelas fokus perlindungan yang melek digital dan berporos pada perlindungan HAM dari para pekerja migran Indonesia. Memunculkan peraturan bersama lintas kementerian menjadi krusial dalam rangka menjawab keperluan antisipasi lonjakan minat pemuda Indonesia bekerja di luar negeri yang banyak terpikat oleh iming-iming yang ditawarkan melalui kanal-kanal digital.