Opini

Banjir Bandang Sumatra Cermin Kegagalan Tata Kelola Hutan dan Ruang

Editorial
ED
02 December 2025
cover

Banjir bandang dan longsor yang melanda sejumlah wilayah di Pulau Sumatra pada akhir November hingga awal Desember 2025 menjadi salah satu bencana paling mematikan dalam satu dekade terakhir.

Dampaknya luas: ratusan jiwa meregang nyawa, jalan utama terputus, jembatan rusak, ratusan rumah hilang terbawa arus, dan sejumlah fasilitas publik tidak dapat difungsikan.

Tragedi itu kembali menunjukkan bahwa bencana yang terjadi bukan hanya persoalan cuaca, melainkan hasil dari struktur kebijakan yang menciptakan kerentanan secara perlahan. Persoalan utamanya bukan sekadar intensitas hujan, tetapi kondisi sosial-ekologis yang telah lama dibentuk oleh keputusan-keputusan politik.

Berdasarkan data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 1 Desember 2025, tercatat 604 orang meninggal dan 464 hilang. Lebih dari 570.000 warga mengungsi, sementara 1,5 juta jiwa terdampak. Sebanyak 2.600 warga luka-luka, dan kerusakan fisik mencakup 3.500 rumah rusak berat, 4.100 rumah rusak sedang, 20.500 rumah rusak ringan, 271 jembatan terdampak, serta 282 fasilitas pendidikan rusak.

Deforestasi dan Kerentanan Ekologis yang Terus Memburuk

Di tingkat regional, laporan lembaga internasional menunjukkan Indonesia sebagai negara dengan korban terbanyak dalam rangkaian banjir dan longsor Asia Selatan–Tenggara pada periode yang sama. Fakta ini memperlihatkan pula kerentanan yang dihadapi masyarakat merupakan hasil dari struktur yang sejak lama membiarkan risiko menumpuk.

Dalam rapat dengan Komisi V DPR, Basarnas menyoroti lokasi permukiman sebagai faktor krusial tingginya jumlah korban. Banyak warga tinggal di bantaran sungai, lereng curam, hingga punggung bukit yang secara geomorfologi tidak aman.

Namun, penjelasan tersebut hanya menyentuh permukaan persoalan. Permukiman di lokasi rawan adalah konsekuensi dari distribusi ruang yang tidak adil, harga tanah yang tidak terjangkau, dan kebijakan pembangunan yang mengutamakan kepentingan tertentu dibanding keselamatan publik.

Salah satu kajian menunjukkan bahwa kelompok miskin cenderung terkonsentrasi di bantaran sungai dan lereng rawan longsor karena harga tanah yang aman tidak terjangkau, sehingga risiko bencana lebih besar menimpa kelompok rentan (Aditya & Laksono, 2022, Journal of Urban Affairs). Dengan kata lain, masyarakat tinggal di wilayah berbahaya karena sistem tata ruang menempatkan mereka di sana.

Selain itu, analisis spasial terbaru mengenai Sumatra Utara juga menegaskan bahwa banyak wilayah berada pada kategori risiko “tinggi” hingga “sangat tinggi” untuk banjir dan longsor berdasarkan faktor kemiringan lereng, bentuk lahan, dan tutupan lahan (Tim Peneliti SIG, 2024).

Kerusakan ekologis di Sumatra juga memperparah dampak bencana. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), periode 2021–2022 saja mencatat kehilangan tutupan hutan seluas 16.782 hektare di Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatra Utara.

Sementara platform Global Forest Watch (GFW) menunjukkan kehilangan hutan alam yang lebih besar: 74.000 hektare hutan Aceh hilang dalam 2021–2024, 10.800 hektare hutan Sumatra Barat hilang pada 2024, dan 8.100 hektare hutan Sumatra Utara hilang dalam setahun, dengan total sekitar 67.000 hektare hilang dalam tiga tahun terakhir.

Temuan tersebut sejalan dengan riset akademis. Sebuah studi tahun 2024 menegaskan bahwa deforestasi di Sumatra berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kejadian banjir bandang dan longsor, terutama di daerah dengan tutupan lahan kritis dan lereng curam (Sulastri dkk., 2024, Law and Justice Journal).

Penelitian lain oleh Margono et al. (2014) menunjukkan bahwa hilangnya hutan primer Sumatra telah menghilangkan fungsi hidrologis penting sebagai penahan limpasan air dan penstabil tanah. Tanpa penyangga ekologis, aliran air permukaan meningkat tajam saat hujan ekstrem.

Laporan FAO (2020) mengenai hidrologi hutan juga memperkuat temuan tersebut: deforestasi dalam skala besar mengubah karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS), mempercepat aliran permukaan, dan mengurangi kapasitas infiltrasi tanah sehingga menjadi kondisi ideal bagi terjadinya banjir bandang.

Jika melihat rentang yang lebih panjang, riset lingkungan mencatat bahwa Sumatra telah kehilangan sekitar 7,5 juta hektare hutan dalam dua dekade. Kerusakan ekologis sebesar itu tentu saja bukan kejadian alamiah, melainkan hasil dari struktur ekonomi-politik yang memberi ruang pada ekspansi industri, pembukaan lahan besar-besaran, dan minimnya pengawasan. Hilangnya hutan membuat fungsi ekologis yang menjaga kestabilan tanah dan mengurangi potensi banjir bandang menjadi tidak berjalan.

Pembalakan Liar, Lemahnya Penegakan Hukum, dan Pola Berulang

Upaya investigasi terkait pembalakan liar juga memperkuat dugaan keterkaitan antara kerusakan hutan dan bencana. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih menelusuri sumber kayu-kayu besar yang ditemukan dalam jumlah banyak di Batang Toru, Sumatra Utara.

Studi mengenai kejahatan kehutanan menyebut bahwa praktik pencucian kayu (timber laundering) sering kali terjadi melalui manipulasi dokumen perizinan, sehingga kayu ilegal tampak seperti hasil tebangan sah. Lemahnya pengawasan menjadikan mekanisme ini terus berulang.

Riset tahun 2023 dalam International Journal of Disaster Risk Reduction menegaskan bahwa perubahan tutupan lahan, terutama konversi hutan menjadi perkebunan dan tambang, memiliki korelasi kuat dengan peningkatan frekuensi bencana hidrometeorologi di Indonesia (Na’in & Mustofa, 2023).

Meski KLHK menyebut kayu tersebut dapat berasal dari berbagai sumber, catatan penegakan hukum sepanjang 2025 menunjukkan pola berulang: penyitaan 86,6 meter kubik kayu ilegal di Aceh Tengah, 152 batang kayu plus alat berat di Solok, serta lebih dari 4.600 meter kubik kayu dalam operasi di Kepulauan Mentawai dan Gresik. Pola ini pun menggambarkan bahwa kerusakan hutan adalah konsekuensi dari sistem perizinan yang lemah dan praktik penegakan hukum yang tidak konsisten.

Secara ilmiah, hubungan antara deforestasi dan risiko banjir bandang maupun longsor sudah sangat jelas. Lereng kehilangan penahan alami, aliran air permukaan meningkat drastis, dan tanah menjadi rentan terhadap erosi. Dalam kondisi demikian, betapapun hebatnya hujan ekstrem hanya menjadi pemicu, bukan penyebab utama bencana.

Kelemahan sistemik juga tampak pada penyebaran informasi dan peringatan dini. Di beberapa wilayah, warga tidak menerima peringatan cukup awal, atau tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk meresponsnya. Situasi ini memperlihatkan bahwa mitigasi bencana masih ditempatkan sebagai pelengkap, bukan kebutuhan mendasar dalam pembangunan.

Pemerintah kini tengah fokus pada penanganan darurat, namun langkah tersebut tidak menjawab akar persoalan. Selama tata ruang dibiarkan longgar dan hutan dianggap sebagai komoditas yang dapat dieksploitasi tanpa batas, maka bencana serupa akan terus berulang.

Banjir bandang dan longsor Sumatra adalah gambaran paling jelas bahwa risiko diproduksi dan diperkuat oleh kebijakan, pembiaran, dan ketidaksetaraan dalam pengelolaan ruang hidup. Jika perubahan struktural tidak dilakukan, maka tragedi seperti ini hanya menunggu waktunya untuk kembali terjadi. (*)

Famebot